Minggu, 19 Juni 2011

Penyebab warna alam buatan

Pada Tahun 1914 Pengusaha Batik Protes Ingin Pewarna Buatan
Pada mulanya para pengusaha batik menggunakan pewarna alami untuk mewarnai kain batiknya, yang terbesar berasal dari warna tarum. Lalu, zat pewarna buatan didatangkan dan diperkenalkan kepada para pengusaha batik. Ternyata diluar dugaan, pengusaha batik lebih memilih untuk menggunakan pewarna buatan. Sehingga ketika Pemerintah Kolonial Belanda menghentikan impor pewarna buatan pada tahun 1914 mendapatkan reaksi yang keras dari pengusaha batik yang sudah termanjakan dengan pewarna buatan. Mereka tidak perlu bersusah payah mengolah tarum yang dinilainya ribet. Kemudian pengusaha batik itu melakukan protes kepada Pemerintah Kolonial agar pewarna buatan diimpor kembali. Para pengusaha batik lebih menyukai pewarna buatan daripada pewarna alamiah dari tarum yang proses pengolahannya memakan waktu dan dan menguras tenaga.
Sejak tahun 1914/1915 itulah tarum pamornya terus merosot, dan tidak ada yang berusaha mengolah tarum secara lebih mudah. Bahkan kini, di bumi tarum sendiri, di Pataruman, di kawasan ex Tarumanagara, tak ada lagi tumbuhan tarum, sehingga masyarakatnya tak mengenalinya lagi.
Tarum tinggal nama. Perlu membangkitkan kembali budidaya tarum, kalaupun tidak untuk zat pewarna, tumbuhan ini sangat baik karena menyuburkan tanah dan dapat menahan erosi.
Budidaya Tarum
Masyarakat di Tatar Sunda membudidayakan tarum ini di tegalan atau di sawah. Setelah dicangkul lalu ditanam steknya. Stek yang digunakan diambil dari cabang yang paling kuat pertumbuhannya, dipotong sepanjang 30 cm. dengan pisau yang tajam agar tidak sobek. Setelah dipotong, disimpan di tempat yang dingin dengan ujung stek diletakan di bagian atas, dibiarkan selama 1-3 hari sampai permukaan potongan stek kering. Setelah itu barulah 2 - 3 stek ditaman dalam satu lubang, dan tunas akan tampak setelah 2 minggu.
Jika yang ditanam bijinya, tiap lubang ditanami 3-4 butir, atau disemai terlebih dahulu. Semaian baru dipindahkan pada umur 1-1,5 bulan. Bila umur sudah satu bulan, mulai disiangi dan barisan tanahnya dibentuk menjadi semacam pematang sehingga menjadi lebih tinggi. Satu bulan kemudian disiangi dan ditinggikan lagi. Baru pada usia 4-5 bulan tarum dapat dipotong. Menentukan waktu panen yang tepat memang agak sulit, karena sulit berharap daun merata hijaunya. Sedangkan bila daunnya yang berwarna hijau tua itu mulai layu dan menguning, maka hasil indigo menjadi kurang. Petani yang berpengalaman cukup meremas daunnya dengan jari, ia dapat menentukan waktu panen dengan milihat warna daun yang diremas dan aroma bau daunnya. Pengumpulan daun tarum dilakukan pagi hari dengan cara memotong cabang dekat batang.
Pengolahan
Cabang-cabang tarum yang telah dipotong dimasukkan dalam bejana atau bak tembok, lalu dicampur kapur dan air. Daun tarum itu ditekan dengan papan dan ditindih dengan kayu hingga terendam secara baik. Setelah beberapa jam cairan tersebut mengalami peragian. Ekstrak bahan tersebut kemudian dialirkan, karena fermentasi akan mempengaruhi kualitas dan jumlah hasilnya.
Lambat laun kekuatan proses ini menurun, dan permukaan air tertutup dengan lapisan tipis. Cairan itu akan berubah warnanya menjadi hijau tua. Kalau airnya telah berbau manis dan warnanya tidak lagi berubah, maka cairannya dipindahkan ke bejana lain dan daunnya dapat digunakan untuk membudidayakan jamur.
Cairan yang telah dipindahkan mengandung bahan uraian indoxyl, dibentuk karena pengaruh enzim yang ada dalam daun. Karena oksidasi dari indoxyl terjadi indigoblauw yang tidak larut. Pemberian oksigen dilakukan dengan menggerak-gerakan cairan, sampai cairan tidak berbuih lagi, pada waktu tersebut warna menjadi kecoklat-coklatan, kemudian selama 12 jam digerak-gerakan lagi sampai cairan tidak berbuih.
Kemudian bahan ini disimpan selama 3 atau 4 jam atau lebih, indigonya mulai mengendap. Cairan yang berwarna kuning dan baunya tidak enak yang ada di lapisan atas umumnya dibuang. Tapi terkadang cairan ini diberi air kapur untuk menghasilkan indigo. Indigo yang mengendap direbus untuk mendapatkan lapisan-lapisan indigo, tetapi ada juga yang dijual dalam bentuk pasta.
Indigo tersebut masih tidak larut sehingga kurang baik untuk bahan cat. Oleh karenanya pengusaha cat China mencampur bubur indigo dengan tape ketan, sedikit kapur. Kemudian air campuran tersebut dimasukan ke dalam tong, diaduk-aduk dan dibiarkan selama beberapa hari. Saat itulah terjadi peragian, yang dicirikan dengan adanya buih warna biru.
Sedangkan para pengusaha cat pribumi mengerjakan reduksi indigo dengan menggunakan gulajawa dan kapur. Ada juga yang menambahkan ke dalam cairan tadi bahan tambahan seperti pisang kelutuk, air kelapa, daun jambu biji, atau buah mengkudu.
Kain yang telah diwarnai perlu dicelup sebentar dalam air asam agar warnanya lebih hidup.
Cacaban itu Pabrik Pewarna
Proses pembuatan zat warna dari tarum itu dilakukan di tempat pengolahan yang khusus, yang oleh masyarakat disebut cacaban. Jadi, bila saat ini ada tempat yang bernama cacaban, di sanalah pada mulanya ada pabrik zat pewarna yang terbuat dari tarum.
Oleh karena itu tempat yang bernama Cacaban hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa. Di Jawa Barat, nama tempat yang menggunakan kata cacaban di antaranya Kampung Cacaban di Selatan Ciranjang – Cianjur, Dusun Cacaban Desa Tanjungsari – Kabupaten Ciamis, Cacaban di Kecamatan Karangnunggal - Tasikmalaya, Desa Cacaban – Kabupaten Sumedang, Desa Cacaban – Kabupaten Bogor. Di Jawa Tengah, tempat yang menggunakan kata cacaban antara lain: Cacaban di Kecamatan Singorojo, di Kecamatan Bener – Purworejo, Kecamatan Cacaban – Magelang, Kampung Cacaban Desa Benowo – Pegunungan Menoreh. Yang menjadi nama sungai, seperti: Sungai Cacaban - Tegal, nama Daerah Aliran Sungai (DAS) Cacaban, nama Waduk Cacaban di Kecamatan Kedungbanteng – Tegal, dan Kali Cacaban di Kebumen.
Jadi, pada mulanya kita adalah pemasok bahan mentah sekaligus produsen, pembuat zat pewarna. Selalu saja, setelah itu tak berlanjut, karena tak ada ahli kita yang secara tekun mengembangkan tarum menjadi zat pewarna yang diolah dengan teknologi yang lebih baik, sehingga pengolahan yang dipandang ribet itu berubah menjadi enteng dan untung. Kapan?***
T. BACHTIAR,
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.